Aku berlari tergesa – gesa melewati jembatan kecil
itu. Sepoi angin sore dan harum dedaunan yang berguguran memaksaku untuk
sedikit mengurangi kecepatan dan merasakan kebesaran-Nya untuk kesekian kali di
sore ini. Kulirik jam tangan pemberian mendiang ibuku, jam 04:00 sore, Astaghfirullah, aku harus
cepat ke masjid untuk sholat ashar. Akhirnya aku kembali mempercepat langkah
dan bergegas menuju tempat yang mendamaikan hati. Rumah Allah.
Alhamdulillah, setelah berdo’a pada-Nya semuanya
terasa lebih ringan, aku berusaha tersenyum dan berdamai dengan keadaan untuk
sekarang, bersyukur Tuhan masih memberikan umur yang panjang hingga aku
mendapatkan ujian ini. Aku pasti bisa. Ingin rasanya aku berdiam diri disini
lebih lama, merasakan lembutnya angin sore, mendengar sayup mereka yang
melantunkan ayat suci-Nya, namun ada sesuatu yang harus aku lakukan. Agar aku
bisa bertahan, untuk mereka.
Semua ini berawal dari pengumuman ujian tertulis
masuk universitas negeri yang kulakukan beberapa bulan lalu, setelah belaja, istiqomah,
dan berdo’a Allah kembali mengabulkan do’aku kali ini, aku lulus. Segera
setelah melihat pengumuman itu aku mengucap alhamdulillah puluhan kali dan seraya
melakukan sujud syukur, ku kayuh segera sepedaku menju tempat kerja ayahku,
melemparnya begitu saja di tepi jalan dan segera datang berlari menemui ayahku,
mengabarkannya tentang berita bahagia ini, beliau menangis dan memelukku, ada
kilatan ragu dimatanya, ada bahagia, haru, dan sedih bercampur dalam
tatapannya, dalam tangisnya, aku bisa merasakannya, aku hanya memeluknya, mengusap
punggungnya yang dibalut baju penuh peluh, berharap dia akan merasa lebih baik.
Ayah menyuruhku pulang untuk menjemput adikku yang sedang mengaji di TPA,
sekaligus menyiapkan makan malam kami, aku mengangguk lalu ku cium tangannya
dan segera mengayuh sepedaku masih dengan tangis itu ditemani langit sore yang
cerah, masih ada rasa tak percaya, tapi
aku kembali tersadar, banyak yang harus aku perjuangkan setelah ini. Aku
mengusap air mataku dan mengayuh lebih cepat, meluapkan emosiku, hijabku
berkibar bersama dengan semangatku yang membara. Man Jadda wajada! Bisikku pada
diri sendiri.
Pagi – pagi sekali, setelah sholat subuh, ayah
menyuruhku dan adikku bersiap – siap, ini hari Minggu, dan beliau menyuruh kami
bersiap diri mengenakan pakaian terbagus kami, aku rindu ibu. Aku memakaikan
jilbab pada adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar, dia mirip sekali
seperti ibu, hidungnya, bibirnya, matanya, kulihat potret usang ibuku yang
terpajang di dinding kamar, sangat mirip.
Ayah tak mengucap sepatah kata pun tentang tujuan kami,
tapi kami tetap mematuhi perintahnya, setelah kami siap beliau mengajak kami
sarapan, ayahku memasakkan tumis tahu kesukaan kami, adikku sangat senang dan
memeluk ayahku mengucap terima kasih, ayah hanya tersenyum. Kami pun makan
dalam diam. Semenjak pengumuman kelulusan ku di universitas itu, ayah lebih
sering diam dan melamun, aku paham apa yang dia khawatirkan, aku harus segera
mencari jalan keluarnya.
Kami pun selesai, ayah mengajak kami pergi dengan
berjalan, dia menuntun adikku dan memetik beberapa helai bunga di pinggir
jalan, ah aku benar – benar merindukan ibu. Kami pun tiba di pemakaman, seperti
yang telah kuprediksi ayah akan mengajak kami kemari, kami pun membersihkan
pusaranya, menaburkan air dan bunga lalu berdo’a. Ayah menangis, adikku terisak
dalam pangkuannya, aku pun tak kuasa menahan diri, aku tak bisa berpura – pura
kuat di depan pusara ibu, aku menangis sembari berdo’a.
Ayah mengusap air mataku, tersenyum, dan mengajak
kami pulang. Hembusan angin pagi dan suara burung yang merdu menentramkan
hatiku, seakan mengisyaratkan bahwa ibu ada bersama kami. Setidaknya, ini sedikit
mengobati rasa rinduku pada mendiang ibu.
Ayah menuntun adikku sembari bersenandung,
senandung yang selalu ibu nyanyikan sesaat sebelum aku tidur, adikku tak pernah
mendengarnya langsung dari ibu, dia masih terlalu kecil saat itu saat Tuhan
memanggil ibu kami, tapi dia selalu senang saat ada yang menyenandungkan lagu
itu disampingnya. Aku pun menuntun adikku dan kami berjalan beriringan, aku
yakin ibu pasti senang melihat kami hari ini. Aku berjanji aku akan membuat
keadaan kami menjadi lebih baik. Man Jadda Wajada.
Hari berganti hari, aku mendapat pemberitahuan
untuk mengurus berkas daftar ulang di tempat aku akan melanjutkan studi ku. Aku
menyiapkan segalanya sendiri, mengambil sedikit tabunganku untuk memenuhi
keperluanku agar tak terlalu membebani ayah. Ku kayuh sepedaku menuju
universitas tempatku akan belajar. Aku berusaha mencari – cari dimana bisa
mendapatkan beasiswa agar aku bisa belajar dengan tenang tanpa memberatkan
ayahku. Nihil. Aku mengucap istighfar dalam hati dan kembali pulang selepas
ashar.
Angin sore hari ini sama sekali tak menentramkan
hatiku, tak seperti biasanya. Aku gusar, gelisah, memikirkan bagaimana nasibku.
Aku adalah satu – satunya harapan ayah, harapan adikku , Sarah. Berat rasanya
ku hendak pulang, aku berjalan tanpa arah mengikuti kaki yang mulai lelah,
namun aku belum mau pulang seperti ini. Apa yang hendak kukatakan pada ayah
tentang biaya yang harus dibayar sebelum perkuliahanku dimulai.
Tak terasa kakiku membawa raga ku ke taman kota.
Aku lelah. Aku putuskan untuk duduk sejenak menatap hampa. hingga tiba – tiba
ada seseorang yang memanggilku.
“
Aisyah? “ Aku pun menoleh,
“ Ini
benar Aisyah kan? Aisyah yang dipanggil Ica? Masih ingat saya? Kita satu kelas
dulu di kelas 3”
Siapa dia? Wanita ini tidak berhijab, bukan
mendeskriminasi, tapi semua teman – teman ku sewaktu SMA berhijab. Dia sepertinya
melihatku yang kebingungan,
“ Ini
Wulan, masa kamu lupa sama aku ca...”
Aku terhenyak. Mengapa dia melepas hijabnya?
Tanyaku dalam hati. Aku berusaha bersikap senetral mungkin, akan kutanyakan
padanya alasan dia melepas hijabnya.
“oh
Wulan, iya aku pangling, sini duduk, kamu dari mana?”
“hehe,begitu
ya , aku baru aja pulang kerja ca, eh iya katanya kamu lulus di universitas itu
ya? Wah selamat ya ca...”
“Alhamdulillah,
ini semua karena Allah lan, eh iya Wulan, kamu kerja dimana?”
“ aku
kerja di toko buku di ujung jalan sana ca, gajinya lumayan loh ca, sebulan lumayan
ca, belum lagi kalau sedang ada bonus, dengar – dengar kamu lagi butuh biaya ya
ca? Kerja sama aku aja ca”
“bolehkah
lan?” entah mengapa agak ragu aku untuk bertanya
“tentu
saja boleh, kapan kamu mulai mau bekerja? Biar aku omongkan sama bos ku ca “
Mungkin hanya perasaanku saja yang tidak enak,
mungkin aku harus bertanya lebih lanjut. Seandainya aku jadi bekerja, ayah
tidak boleh sampai tahu
“ syaratnya apa saja lan untuk bekerja disitu?”
tanyaku
lebih lanjut. Wulan agak sedikit kikuk, dia menggerakkan jari-jari tangannya
kaku, dengan suara nyaris tak terdengar setengah berbisik dia berkata
“ umm,
anu ca, syaratnya sih seperti biasa, saya yakin kamu pasti masuk kualifikasi,
tapi ada satu yang agak sedikit mungkin membuat kamu ragu, tapi kalau melihat
kondisi keluargamu, aku rasa ini tidak apa – apa, karena aku melakukan hal yang
sama ca”
Perasaanku semakin tidak enak,
“apa
lan?”
“anu,
kamu tidak boleh memakai ini ca” .Wulan
berkata sembari memegang hijabku.
Aku tertohok. Bukan hanya karena jawaban Wulan,
tapi karena aku juga mendapat jawaban mengapa Wulan melepas hijabnya.
Suasana hati yang sedang kalut membuat emosiku
memuncak. Ingin rasanya aku memarahi Wulan dan berkata apakah yang ada dalam
benaknya berani – beraninya melepaskan kewajiban hanya karena harta.
Astaghfirullah. Sesegera mungkin aku beristighfar
berpuluh – puluh kali. Aku berusaha tersenyum. Wajah Wulan menunduk seakan
mengerti apa yang aku rasakan. Aku tersenyum dan mengangkat wajahnya.
“Wulan, ada banyak pekerjaan halal di dunia ini,
aku yakin , diantara seribu pasti ada satu pekerjaan dimana kita masih bisa
menjadi muslim”
Wulan kembali menunduk dan pamit pulang. Aku pun
bergegas pulang karena matahari sudah hampir tenggelam. Malam ini sulit sekali
untuk memejamkan mata barang sekejap. Aku bangun untuk sholat tahajud, meminta
diberikan petunjuk dari Sang Maha Kuasa. Menangis, aku mengambil foto ibu dan
mendekapnya erat. Aku pun tertidur di atas sajadahku.
Pagi ini aku bergegas untuk pergi ke kampus,
menyelesaikan pengumpulan berkasku yang ternyata masih ada beberapa hal yang
kurang. Matahari telah naik, sudah
waktunya dzuhur namun pengumpulan berkas ini belum juga selesai, aku putuskan
untuk istirahat sejenak dan sholat dzuhur di tempat yang disediakan, segar
sekali setelah wudhu. Aku pun sholat berjamaah. Makmum di sebelah kananku
adalah wanita paruh baya yang cantik dan anggun, setelah selesai sholat, aku
menyapanya. Dia menjawab sapaanku, suaranya renyah dan merdu, sepertinya dia
bekerja disini pikirku. Aku pun bertanya, ternyata dia memang pegawai disini. Aku
pun bercerita tentang keadaanku dan bertanya apakah aku bisa mendapatkan
beasiswa, wanita itu pun dengan semangat memberitahuku tentang beasiswa yang
bisa aku dapatkan. Dia mengajakku ke tempat dimana aku dapat melihat
persyaratannya. Alhamdulillah , Allah memang sebaik – baiknya pemberi rezeki.
Waktu pun berlalu, tiga tahun perjalananku di dunia
perkuliahan, tak terasa kakiku membawa ragaku dan keluargaku ke negeri Sakura.
Aku menatap daun – daun momiji yang bertebaran sembarang, aku berdiri di tepi
jembatan, menatap sungai, airnya beriak. Adikku berlari dari kejauhan,
melambaikan tangan. Ayahku berjalan dengan tenang sambil merapatkan baju
hangatnya. Dia kedinginan. Tak pernah kubayangkan akhirnya aku bisa membawa
mereka ke negeri orang. Kini ayahku tak harus berpeluh – peluh demi kami,
adikku tak takut lagi tak bisa membeli buku pelajaran. Rezeki yang diberikan
Allah kepada kami sudah lebih dari cukup. Tak pernah kubayangkan akan menjadi
apa aku jika waktu itu aku mengikut ajakan Wulan. Mungkin , inilah yang disebut
keajaiban dibalik hijab. Hijab yang melindungiku, menentramkanku, mendekatkanku
kepada Sang Pencipta.
-P.A